Donasi Iklan

Thursday, July 26, 2018

Sami’na Wa Atho’na ( Garis Ketaatan )

Oleh : Al Ustadz Abdul Qadir Hasan Baraja’
Sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat) merupakan prinsip dien/agama/ajaran, bahkan semua ajaran sebenarnya punya  prinsip seperti itu juga, dengan istilah yang berbeda, sebab kalau tidak dengan sami’na wa atho’na, maka ajaran tersebut  dengan sendirinya lama kelamaan akan mati.

Itu suatu prinsip yang sangat rasional sekali, disetujui oleh semua konsep hidup semua manusia di dunia ini. Kalau  membicarakan sami’na wa atho’na yang berhubungan dengan ajaran Islam, hal ini sangat berbeda. Sebab kewajiban-kewajiban dalam Islam ini bukan hanya yang tertulis saja (Qur’an dan Sunnah). Kadang-kadang hasil musyawarah bersama perlu konsekwensi peserta musyawarah sehingga harus konsisten dengan keputusannya yang membutuhkan sami’na wa atho’na, jadi
wajib dilaksanakan juga.

Maka semua yg menyangkup sami’na wa atho’na, apabila tidak laksanakan, itu penyelewengan iman. Kalau sami’na wa atho’na itu akan mendatangkan rahmat Allah, dan bila tidak (sami’na wa ashoyna) akan mendatangkan murka Allah SWT. Sami’na yang tidak wa atho’na akan terjerumus kepada sami’na wa ashoyna. Jadi tidak ada pilihan lain, kalau tidak sami’na wa atho’na,
 ya sami’na wa ashoyna seperti halnya Bani Israil (mereka kaum yang sering ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana banyak diceritakan dalam Al-Qur’an). 

Semua isi Al-Qur’an yang 30 juz itu, tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan sami’na wa atho’na. Jadi jembatan satu-satunya supaya ajaran sempurna dilaksanakan yaitu harus adanya sami’na wa atho’na. Tidak pada posisi itu berarti dia sami’na wa ashoyna. Perlu digaris bawahi bahwa dengan sami’na wa atho’na itulah yang bisa mendatangkan rahmat Allah SWT pada hamba-hamba-Nya, sementara sebaliknya (sami’na wa ashoyna) dapat menghambat turunnya rahmat Allah, bahkan naudzubillah  kalau justru mendatangkan laknat Allah SWT. 

Maka banyak orang-orang sekarang, dari kaum muslimin khususnya, menghadapi kenyataan itu bingung. Karena rahmat Allah terhambat dengan sami’na wa ashoyna itu tadi. Maka siapa yang ingin bahagia hidupnya dunia akhirat sebenarnya harus  berpijaklah atau berdirilah pada prinsip sami’na wa atho’na sepanjang sesuai syara, sehingga semua gundah gulana kehidupan itu bisa teratasi karena nilai sami’na wa atho’na itu dijadikan prinsip dan menjadikan hamba-hamba yang 

bertakwa. Jadi nilai takwa itu lahir dari perbuatan-perbuatan karena dorongan iman.Jadi semua sikap dari lahir dan bathin yang diwujudkan dari dorongan iman itu nilainya ketakwaan. Sementara orang
bertakwa itu banyak sekali janji-janji Allah di dalam Al-Qur’an akan diberikan, di antaranya dalam Surat Ath-Thalaq

- Tanpa diduga-duga mendapatkan rezeki
- Semua urusannya dimudahkan
- Problematika kehidupannya di beri jalan keluar dengan mudah
- Dosanya diampuni
- Pahalanya dibesarkan

Jadi, alangkah banyaknya janji-janji Allah SWT itu kepada orang-orang yang bertakwa.

Itu apabila kita bersikap, bertindak, berprestasi, beraktivitas, bertindak karena dorongan iman kita sehingga bernilai
ketakwaan dan mendapatkan rezeki plus itu.

“Wa mayyattaqillahi yaj allahu makhraja’ wa yarjuqhu min haitsu laa yahtasib.”
“Wa mayyattaqillahi yaj allahu
“Wa mayyattaqillahi yaj allahu
Tapi, takwa itu segala aktivitas yang diwujudkan dari dorongan iman, Disitulah kita berada di atas garis sami’na wa atho’na. Nah, lepas dari garis sami’na wa atho’na kita mendapatkan murka Allah SWT, cepat ataupun lambat karena itu mendatangkan  laknat. Memang, prinsipnya seperti itu.
Jadi kepada kaum muslimin memang perlu dipertanyakan kepada siapa sami’na wa atho’na-nya diberikan, bukan sembarang diberikan atau kepada siapa saja boleh diberikan, bukan seperti itu. Sami’na wa atho’na itu mutlak/harus diberikan  kepada siapa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa’ ayat 49:

Kalau di akhirat dipertanyakan siapa tuhan seseorang itu, mungkin banyak orang yang menjawab Allah, banyak juga yang menjawab barangkali matahari, dewa-dewa, atau lainnya. Itu kita tidak tahu. Tapi kalau kita harus menjawab Allah SWT,  dan mungkin juga ada yang menjawab lainnya dengan tambahan-tambahannya. Kalau itu kita selamat bisa menjawab Allah SWT,

selanjutnya ada pertanyaan siapa rasul/nabi yang kalian taati, ada jawab Nabi Adam AS, Nabi Daud, Nabi Musa, Nabi Isa, atau yang lainnya. Nah kalau kita jawabannya wa athiur rasulnya, Nabi Muhammad SAW. Nah, nanti di akhirat satu lagi ada  pertanyaan muncul: Siapa ulil amri yang anda ikuti atau Ulil Amrinya, mungkin banyak umat Islam yang bingung? Padahal  prinsip sami’na wa atho’na yang sudah dijelaskan di atas itu, justru fokusnya kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Lalu kalau ditanya siapa ulil amrinya, terus dijawab: “Ini sedang kami tunggu-tunggu, yaitu Imam Mahdi sebagai ulil amri.” Jawaban ini lucu sekali, kalau nanti di akhirat mereka ditanya siapa ulil amrinya. Jadi itu prinsip. Tidak boleh kita menjawab seperti di atas (tidak jelas jawabannya). Kita harus menjawab apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan ada  semua jawabannya. Anda setuju anda selamat, anda tidak setuju anda tidak selamat. Sekali lagi ini prinsip. Jadi tidak ada jalan lain, atau
jalan karomah atau jalan keajaiban. Kan ada istilah “Ada 1001 jalan.” Atau “Banyak jalan menuju Roma.” Kalau dalam Islam itu, jalan menuju Surga itu ya: “Sami’na wa atho’na.” Itulah yang membuat ramainya dunia ini, karena  adanya sami’na wa atho’na yang nanti akan mendatangkan rahmat Allah SWT

dan jika sebaliknya sami’na wa ashoyna maka murka  Allah pun akan turun, baik cepat walaupun lambat. Karena di Qur’an disebutkan lawannya yaitu sami’na wa ashoyna itu jalan menuju ke Neraka. Di sanalah (Akhirat) kita ketemu dalam ridha Allah atau dalam murka Allah. Kalau ridha Allah itu sami’na wa atho’na, dan kalau meleset sedikit saja sami’na  wa ashoyna. 

Sebagai bukti kita menjalankan sami’na wa atho’na itu, dalam ajaran Islam hal itu wajib ilaksanakan. Tidak ada alasan  tidak melaksanakan itu kecuali ketaatannya melanggar syariat (Allah dan Rasul-Nya). Kalau memang ada yang ingin meninggalkan sami’na wa atho’na, harus dengan alasan syar’i maksudnya tidak sesuai syariat, dan kalau itu ditinggalkan maka ancamannya berat. Sami’na wa atho’na sebenarnya adalah untuk melaksanakan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara sempurna, kalau tidak ada hal  itu, apa gunanya hidup ini / akal yang Allah berikan ini. Tidak bedanya kita dengan binatang yang Allah ciptakan tanpa  akal.

Sami’na wa atho’na kepada ulil amri harus dilaksanakan, sepanjang perintah ulil amri ini tidak maksiat kepada Allah dan  Rasul-Nya. Misalnya: Ulil amri menyuruh berdiri di depan pintu atau kumpul di lapangan hari ini jam sekian. Karena itu tidak melanggar syariat maka hal itu harus dilaksanakan, kalau tidak maka sami’na wa ashoyna.

No comments:

KHILAFATULMUSLIMIN MASIH EKSIS

Oleh : Wuri Handoyo Awal bulan juni 2022 yang lalu, media Nasional ramai memberitakan tentang penangkapan sejumlah petinggi Khilafatul Musli...